Senin, 02 April 2012

Hak Asasi Manusia (HAM)

Sejarah HAM
Meskipun hak asasi manusia adalah hak yang bersifat kodrati, yang melekat pada diri manusia dari semenjak manusia dilahirkan, namun keberadaan hak asasi manusia ini tidaklah semata-mata hadir dengan sendirinya. Kehadirannya terbentuk dari rangkaian sejarah panjang. Hak asasi manusia yang kita pahami sekarang ini pun perjalanannya masih belum berakhir. Perkembangannya masih akan terus bergulir, terus berlanjut, terus bergerak seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.
          Terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan penderitaan umat manusia merupakan awal yang membuka kesadaran tentang konsep hak asasi manusia. Catatan sejarah menunjukkan hal ini, sehingga menjadi tidak berlebihan jika dikatakan sejarah HAM adalah sejarah korban. Pada mulanya, korban-korban itulah yang mengemukakan hak asasi manusia ini.
Setelah hak itu ditemukan belum serta merta hak itu akan diakui. Harus melalui serangkaian perjalanan lagi ketika hak yang sudah ditemukan itu untuk bisa diakui. Begitu pun setelah diakui, masih harus melewati berbagai tahap lagi hingga kemudian hak-hak itu dikodifikasi. Untuk sampai pada kodifikasi itu pun masih juga membutuhkan proses yang panjang. Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada tahun 1948. Kelahiran DUHAM itu sendiri tidak terlepas dari keganasan Perang Dunia II, yang di dalamnya mencatat kejahatan yang dilakukan oleh rezim Nazi Hitler.
Jika Magna Carta yang dicetuskan pada tahun 1215 dianggap sebagai tonggak awal dari kelahiran HAM, maka bisa dibayangkan betapa panjang dan lamanya proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai kemudian dikodifikasi oleh DUHAM pada tahun 1948. Begitu pun dalam hal penegakannya. Dibutuhkan 10 tahun agar dua kovenan utama HAM (Kovenan Hak Sipol dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) bisa efektif berlaku, dari mulai ditetapkannya tahun 1966 sampai kemudian efektif diberlakukan pada tahun 1976.
Adapun sejarah perjuangan penegakkan HAM di Indonesia sendiri secara sederhana dapat dibagi menjadi empat periode waktu, yaitu zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan Orde Lama (1945-1966), periode kekuasaan Orde Baru (1966-1988) dan pemerintah reformasi (1988-sekarang).

HAM dalam PBB
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karena itu perang melawan kekuatan dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam “Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa” yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah “penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan.” Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang.
Pembunuhan dan kerusakan yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu untuk mencegah perang, dengan membangun sebuah organisasi Internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Lantaran keyakinan ini konsep Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk “mengembangkan” hak asasi manusia namun tidak bersedia “melindungi” hak itu.
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights), komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar